Sunday, October 15, 2006

Tema-tema Dalam Drama Jepang

Dari semua drama Jepang yang sudah saya tonton, saya mempunyai kesimpulan bahwa yang menarik dari drama Jepang adalah temanya. Meski temanya sama dan cenderung klasik, tetapi kemasannya bervariasi. Sebagai contoh, Oishii Kankei produksi Fuji TV tahun 1996. Tema drama ini memang tentang cinta. Namun, tema cinta ini dikemas dalam cerita berlatar belakang dunia masak. Cinta yang digunakan dalam memasak akan menghasilkan makanan yang lezat.

Dalam Ai No Uta produksi NTV tahun 2005, tema cintanya dikemas dengan cerita berlatar belakang keluarga dan hubungan pertemanan yang cukup dekat. Cinta yang disampaikan dalam cerita ini tidak hanya hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan. Tetapi juga antara ayah-anak dan sebaliknya, serta antara teman.

Drama produksi Fuji TV tahun 2004, yang berjudul Pride, juga bertema cinta. Namun dikemas dengan latar belakang dunia olahraga. Cinta seorang pemain ice hockey terhadap profesinya, teman, guru, dan perempuan.

Tema cinta dalam drama berjudul Beautiful Life, produksi TBS tahun 2000 dikemas dengan cerita berlatar belakang dunia hair stylist. Dalam drama ini tokohnya adalah seorang penata rambut yang jatuh cinta pada seorang gadis cacat.

Dalam Itsumo Futari De, yang diproduksi Fuji TV tahun 2003, tema cintanya berlatar belakang dunia penulis. Bagaimana tokoh wanita berjuang keras untuk dapat menjadi seorang penulis terkenal. Lalu ia bertemu dengan seorang variety program scenario writer dan jatuh cinta dengannya.

Ada pula tema cinta yang berlatar belakang dunia pilot penerbangan dalam drama Good Luck, produksi TBS tahun 2003. Juga tema cinta seorang pramugari dalam drama Attention Please, produksi Fuji TV tahun 2006.

Dari semua drama-drama tersebut, yang lebih menarik lagi adalah latar belakang profesi tokohnya tidak terkesan tempelan semata. Artinya, gambaran tokohnya yang seorang juru masak, pilot, pramugari, atlit, atau penulis benar-benar digambarkan secara utuh. Bagaimana proses bekerja seorang juru masak, pramugari, dan lain-lainya itu diperlihatkan secara detil.

Wednesday, October 11, 2006

Innocent Steps: A Good Step for Moon Geun Yeong

I knew Moon Geun Yeong for the first time from her role in My Little Bride (2003). In that movie she acted impressively as a 16 years old girl. She had to married with a college boy who treated her as a sister since they were children. Both of them acted very naturally like a real young couple.

In Innocent Steps (2005), Geun Yeong played as a young woman came from China. Her name is Chae-Rin. She came to Seoul for replacing her sister in order to join dance competition. Then, she met Young-sae. He was one of the good dancers in Korea before being cheated by his rival in a dance competition. So, after this accident, his legs broken and his life was ruined.

Young-sae taught Chae-rin how to dance. On this way, she was getting to fall in love with him. After learning to dance for several times, Chae-rin could prove to Young-sae that she can be a good dancer. Finally, indeed, she could be a winner in the dance competition.

If you have seen Geun Yeong's movies before, you can find the differences of her acting on each. It means that she should be considered as an artist with a strong character in the future. I'm very impressed, especially in way of her dancing and acting naturally like a real dancer. I think she is a good talented actress.

Kolak Pisang

Berpuasa jauh di negeri orang terkadang membuat saya kangen makanan khas berbuka puasa di Indonesia yang beraneka macam. Salah satu makanan favorit saya adalah kolak pisang. Minggu yang lalu saya menyempatkan diri secara khusus pergi ke sebuah pasar tradisional di daerah Ueno. Di sana banyak terdapat bahan makanan khas negara asia, termasuk pisang kepok. Hari ini saya coba membuat kolak pisang ala kadarnya...(^-^)

Bahan:
- Pisang kepok 3-5 buah
- Gula jawa 1 buah
- Garam 1/2 sdt
- Gula pasir 1 sdt (sesuai selera)
- Santan cair +/- 160ml

Cara membuat:
- Rebus gula jawa bersama air
- Setelah mendidih, masukkan santan dan potongan pisang
- Diamkan +/- 5 menit (tergantung tingkat kematangan pisang)
- Angkat dan sajikan

Sunday, October 01, 2006

KUMON

Kumon adalah sebuah metode belajar yang dibuat pertama kali oleh Toru Kumon pada 1954. Ia membuat semacam handwritten worksheet untuk mengajari matematika pada anaknya di atas loose-leaf papers. Cara ini menjadi sebuah metode yang dipakai untuk belajar di Kumon Center yang didirikan pertama kali di Osaka pada tahun 1958. Lembaga ini akhirnya berkembang pesat dan merambah ke luar negeri.

"Anak saya gak berkembang ikut Kumon. Mau saya pindahkan aja ke kursus Sempoa Aritmatika," begitu kira-kira sebuah ungkapan bernada kekecewaan dari seorang ibu kenalan saya di Jakarta. Ibu yang lain mengatakan, "Anak saya jadi lebih mandiri dan teliti setelah ikut Kumon." Konon, belajar Sempoa Aritmatika membuat anak bisa cepat dalam menjawab soal-soal, sedangkan di Kumon membuat anak "agak tertinggal" dari pelajaran sekolahnya. Begitu kira-kira penjelasan ibu yang kecewa terhadap Kumon. Saat itu, berdasarkan pemahaman saya terhadap cerita ibu-ibu tentang Kumon dan Sempoa Aritmatika, saya mengatakan bahwa mungkin lebih bijak kalau kita menetapkan dulu tujuan memasukkan anak ke sebuah kursus. Kalau kita ingin sang anak hanya bisa cepat menjawab soal, mungkin pilihlah Sempoa Aritmatika. Akan tetapi jika kita ingin sang anak belajar ketepatan, ketelitian dan kemandirian, pilihlah Kumon.

Setelah saya mempunyai pengalaman memasukkan anak ke Kumon di negara asalnya, saya makin memahami tujuan dari metode ini. Saya juga ikut kursus bahasa Jepang di Kumon. Dan saya bisa merasakan sendiri manfaatnya. Di Kumon, kita akan diberi kebebasan mengerjakan dan menentukan sendiri sebanyak apa worksheet yang akan sanggup kita kerjakan. Kita akan diberi kesempatan mengerjakan worksheet yang sama dalam beberapa kali. Sepintas lalu memang terkesan membosankan. Namun bagi saya cara ini cukup efektif untuk mengingat kosakata dan tata bahasa yang saya pelajari. Lebih efektif ketimbang menghafal. Pun demikian halnya dengan anak saya. Saya tidak perlu lagi menyuruh dia untuk menghafal hasil penjumlahan atau pengurangan suatu bilangan. Dia sudah bisa mengingat dengan sendirinya suatu hasil penjumlahan atau pengurangan berkat mengerjakan worksheet yang sama secara berulang. Pada akhirnya kita juga bisa menjawab soal dengan cepat dan tepat. Butuh waktu memang. Namun, bukankah segala hal ada prosesnya? Apakah semua hal yang serba cepat dan instant lebih baik? Menurut saya semua berpulang kepada tujuan kita masing-masing.