Thursday, December 07, 2006

Lagi, soal Poligami yang tidak pernah selesai...

Melalui tulisan ini saya tidak bermaksud menjadi polisi moral, atau bahkan Tuhan. Saya hanya mau mengutarakan pendapat saya tentang poligami. Tentu saja dari sudut pandang saya sebagai seorang manusia berjenis kelamin perempuan.

Banyak perempuan, termasuk saya, yang menyatakan tidak rela jika dipoligami. Buat saya, dipoligami sama artinya dengan rela "dikhianati" batin. Apapun alasannya, dengan dalil agama apapun, buat saya poligami hanya akan melahirkan penderitaan batin bagi perempuan. Kalau mau jujur, meski pada akhirnya perempuan yang dipoligami bisa "menerima" jalan hidupnya, di awal masa poligami pastilah ada semacam rasa tidak ikhlas dirinya "didua atau dikesekiankan" oleh suami. Bukankah itu menandakan ada ketidakikhlasan yang seikhlas-ikhlasnya dari pihak perempuan? Ada semacam proses "pemaksaan untuk menerima keadaan" terhadap istri yang dipoligami. Padahal itu adalah salah satu syarat utama dibolehkannya poligami. Bagaimana mungkin suami bisa yakin bisa berlaku adil, sedangkan di pihak istri di awalnya saja sudah merasa tidak mendapat keadilan batin.

Jika saya tidak setuju poligami, bukan berarti saya menentang ajaran Tuhan. Saya yakin benar bahwa tidak ada yang salah dengan ajaran Tuhan. Yang ada hanya manusia yang salah menafsirkan ajaran Tuhannya. Saya sangat setuju dengan pendapat yang dikemukakan Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam wawancaranya dengan Republika Online hari ini mengenai poligami. Bahwa poligami memang tidak dilarang di dalam ajaran Islam, tapi juga tidak dianjurkan, seperti yang ada di dalam salah satu ayat Al Quran. Artinya poligami lebih mirip pintu darurat di dalam pesawat, yang digunakan untuk kasus yang benar-benar darurat. "Ayat ini tidak menganjurkan apalagi mewajibkan berpoligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Poligami dalam ayat itu merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Islam mendambakan kebahagiaan keluarga, kebahagiaan yang antara lain didukung oleh cinta kepada pasangan. Cinta yang sebenarnya menuntut agar seseorang tidak mencintai kecuali pasangannya. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang mengingingkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu".

Saya juga pernah mendengar dan membaca pendapat yang menyebutkan bahwa poligami merupakan salah satu sunnah Rasul yang bisa diteladani. Saya kok cenderung melihat pendapat itu hanya bentuk pemaksaan untuk membenarkan poligami ya? Apakah Rasul benar-benar menganjurkan pengikutnya untuk berpoligami sebagai salah satu dari sekian banyak ibadah beliau? Jikalaupun beliau berpoligami, pastilah ada alasan-alasan yang lebih logis di masa perjuangan beliau mensyiarkan ajaran Islam di kala itu. Coba bandingkan dengan alasan yang banyak mengemuka sekarang ini, seperti poligami merupakan cara untuk menghindari zina. Kalau yang mendasari poligami itu adalah untuk menghindari zina, pokok permasalahan adalah urusan, maaf, syahwat. Apa betul poligami hanya salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut di zaman sekarang? Bukankah bisa diatasi dengan lebih meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepada pasangan yang ada? Kalau yang dijadikan alasan selalu untuk menghindari zina, bagaimana jadinya kalau, misalnya, dalam perjalanan hidup seorang laki-laki dia mengalami beberapa kali rasa tertarik terhadap wanita lain, sebanyak itukah dia mengatasinya dengan jalan menikah lagi? Untuk ketiga, keempat, dan kesekian. Kapan selesainya dong? Oleh karena itu, janganlah berdalih dengan dalil-dalil agama untuk tameng pembenaran.

Coba baca pendapat Prof. Dr. M. Quraish Shihab yang berikut "Tidak bisa dikatakan bahwa Rasul SAW menikahi lebih dari satu perempuan dan pernikahan semacam itu hendaknya diteladani. Karena, tidak semua apa yang dilakukan Rasul SAW perlu diteladani sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya. Bukankah Rasul SAW antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudlu beliau bila tertidur? Selanjutnya perlu dipertanyakan buat mereka yang beranggapan poligami adalah sunah Rasul SAW. ''Apakah benar mereka benar-benar ingin meneladani Rasul SAW dalam pernikahannya? ''
Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadari Rasul SAW baru berpoligami setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama setelah meninggalnya Khadijah RA. Kita ketahui Rasul SAW menikah dalam usia 25 tahun, 15 tahun setelah pernikahan beliau dengan Sayyidah Khadijah RA, beliau diangkat menjadi Nabi. Istri beliau ini wafat pada tahun ke-10 kenabian Beliau. Ini berarti beliau bermonogami selama 25 tahun. Lalu setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya Khadijah RA, baru beliau menggauli Aisyah RA yakni pada tahun kedua atau ketiga Hijriyah, sedang beliau wafat dalam tahun ke-11 Hijriyah dalam usia 63 tahun.
Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup bermonogami beliau, baik dihitung berdasar masa kenabian lebih-lebih jika dihitung seluruh masa pernikahan beliau. Jika demikian, maka mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani? Mengapa mereka yang bermaksud meneladani Rasul SAW itu tidak meneladaninya dalam memilih calon-calon istri yang telah mencapai usia senja? Semua istri Nabi SAW selain Aisyah adalah janda-janda yang berusia di atas 45 tahun? Di samping itu, mengapa mereka tidak meneladani beliau dalam kesetiaannya yang demikian besar terhadap istri petamanya, sampai-sampai beliau menyatakan kecintaan dan kesetiaannya walau di hadapan istri-istri beliau yang lain?"


Nah, mengapa kita tidak meneladani Rasul dalam perkawinan monogami beliau selama 25 tahun dengan istri pertama beliau saja? Bukan poligami beliau yang hanya sekian tahun itu?