Tuesday, September 26, 2006

Ai No Uta: Sebuah Nyanyian Cinta

Ai No Uta adalah sebuah judul drama seri Jepang sebanyak 10 episode. Saya tertarik untuk mengulas drama ini karena pesan yang disampaikannya sederhana tapi bagus. Bagaimana berharganya sebuah kehidupan karena terdapat banyak hal yang bisa dilakukan.

Drama ini berkisah tentang seorang wanita muda berusia 27 tahun yang mengalami keputusasaan karena merasa tidak dicintai oleh siapapun. Yoko, nama gadis itu, digambarkan sebagai seorang gadis yang tumbuh dalam lingkungan yang sepi akan cinta kasih. Ibu, satu-satunya orang yang dia harapkan untuk mencintai dan mengasihinya, ternyata adalah seorang ibu yang sibuk memikirkan kesenangan dirinya sendiri. Seolah-olah tidak peduli pada dirinya.

Suatu ketika, Yoko kecil ingin membuktikan pada dirinya sendiri, apakah sang ibu peduli padanya atau tidak. Ditulisnya sebuah pesan singkat di secarik kertas: Sayonara (selamat tinggal). Lalu ia bersembunyi di dalam sebuah kotak kardus bekas tidak jauh dari rumahnya. Ia ingin memastikan apakah sang ibu akan mencarinya kalau ia pergi dari rumah. Namun, Yoko kecil harus menerima kenyataan bahwa meski di luar turun salju yang cukup membuatnya menggigil kedinginan, sang ibu sama sekali tidak menyadari ketidakhadirannya. Ia tetap asyik bercengkerama dengan teman-temannya. Juga betapa sedihnya Yoko ketika sang ibu mengatakan bahwa dia tidak mempersiapkan sebuah nama khusus untuk dirinya ketika baru dilahirkan. Sang ibu hanya menemukan sebuah nama di kartu identitas yang tersemat di dada seorang petugas kantor catatan sipil. Itulah asal muasal nama Yoko. Betapa sangat berbeda jauh dengan salah seorang teman kelasnya yang bercerita di depan kelas bahwa ia diberi nama Ai yang berarti cinta oleh kedua orangtuanya.

Kesepian dan merasa tidak ada yang mencintai, membuat Yoko dewasa menjadi putus asa dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Di tengah upaya itulah ia bertemu dengan Yuji, seorang detektif paruh baya yang memutuskan untuk pindah bagian karena ingin mempunyai banyak waktu untuk ketiga anaknya. Tiga tahun yang lalu Yuji ditinggal pergi untuk selamanya oleh sang istri.

Dari sinilah "nyanyian cinta" itu bermula. Kisah dua manusia yang mempunyai tujuan hidup yang bertolak belakang. Yang satu ingin mengakhiri hidupnya karena merasa tidak ada yang mencintai. Yang lainnya sangat ingin hidup lebih lama lagi bersama anak-anak yang sangat dicintainya, tapi tidak bisa karena penyakit yang dideritanya. Kehidupannya di tengah-tengah keluarga Yuji akhirnya membuat Yoko menemukan makna cinta dalam hidupnya. Rumah penuh cinta milik Yuji telah menyadarkan Yoko bahwa meski dirinya bukan siapa-siapa, tapi kehadirannya disambut dengan cinta oleh keluarga Yuji. Yoko dapat melihat betapa Yuji tidak mau menyia-nyiakan sisa hidupnya sedetikpun tanpa berbuat sesuatu untuk menunjukkan cinta kepada anak-anaknya. Bahwa hidup terlalu berarti untuk disia-siakan. Hal ini menyadarkan Yoko bahwa meski ia merasa tidak dicintai ibunya, tapi akhirnya dia menemukan dirinya ternyata dicintai juga oleh orang lain. Kehadirannya dibutuhkan oleh keluarga Yuji. Hal inilah yang membuat Yoko bisa memafkan sang ibu dan menyatakan terima kasih karena telah melahirkannya.

Yang menarik dari drama ini adalah tema cinta yang ditunjukkan tidak hanya cinta antara laki-laki dan perempuan saja. Akan tetapi cinta orangtua terhadap anak-anaknya dan sebaliknya serta cinta terhadap teman. Tema yang klasik mungkin, tapi dikemas dengan baik sehingga tampak manis dan menarik untuk ditonton. So, bersyukurlah kita yang telah diberi kehidupan olehNYA. There is something value from God-given.

Saturday, September 23, 2006

Marhaban Ya Ramadhan

24 September 2006, Selamat datang Ramadhan! Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan untuk menikmati ramadhan. Tahun ini merupakan ramadhan keempat yang saya jalani di negeri sakura. Setiap menjelang ramadhan tiba, ketika begitu banyak e-mail teman berdatangan untuk mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa, perasaan sedih seringkali datang. Terbayang betapa sepinya suara adzan dan lagu-lagu qasidah serta nasyid bernuansa ramadhan. Betapa rindunya menikmati buka puasa bersama keluarga besar dan teman di Indonesia.

Namun justru di tengah kesepian itulah mencuat rasa keimanan yang lebih tebal. Keimanan yang memotivasi diri untuk menjalankan ibadah dengan lebih baik dan menciptakan sendiri nuansa ramadhan di rumah. Itulah hikmah ramadhan yang saya dapat di sini. Alhamdulillah.

Setiap habis ramadhan
Hamba rindu lagi ramadhan
Saat-saat padat beribadat
Tak terhingga nilai mahalnya

Setiap habis ramadhan
Hamba cemas kalau tak sampai
Umur hamba di tahun depan
Berilah hamba kesempatan

Alangkah nikmat ibadah bulan ramadhan
Sekeluarga sekampung senegara
Kaum muslimin dan muslimat sedunia
Seluruhnya kukuh dipersatukan dalam memohon ridhoNya

Setiap habis ramadhan
Hamba cemas kalau tak sampai
Umur hamba di tahun depan
Berilah hamba kesempatan

Setiap habis ramadhan
Rindu hamba tak pernah menghilang
Mohon tambah umur setahun lagi
Berilah hamba kesempatan

Alangkah nikmat ibadah bulan ramadhan
Sekeluarga sekampung senegara
Kaum muslimin dan muslimat sedunia
Seluruhnya kukuh dipersatukan dalam memohon ridhoNYA

(Bimbo)

Thursday, September 21, 2006

Culture shock

Apa sih culture shock itu? Dulu sebelum menginjakkan kaki di belahan negara lain, saya tidak pernah bisa memahami benar makna istilah tersebut. Saya lahir dan dibesarkan di Jakarta. Tidak pernah tinggal lama di daerah lain selain Jakarta. Rasanya cukup sulit memahami dengan benar gejala gegar budaya itu. Saya hanya bisa mereka-reka, oh...seseorang akan mengalami kesulitan adaptasi di tempat yang baru dengan situasi dan kondisi di mana kehidupan masyarakatnya berbeda. Hanya sampai di situ saja pemahaman saya.

Empat tahun yang lalu, ketika untuk pertama kalinya datang ke Jepang, suatu negara yang sama sekali asing, yang hanya saya ketahui lewat pelajaran sejarah di sekolah, cerita di buku, dan tayangan televisi, kesan pertama yang langsung terlintas dalam benak saya ketika sampai di Jepang adalah negeri ini bersih dan teratur. Selebihnya adalah kebingungan memahami berbagai karakter tulisan di sepanjang perjalanan menuju rumah. Mungkin itu adalah culture shock saya yang pertama. Ya ampun...bagaimana saya bisa tahu itu tempat apa kalau membaca tulisannya saja tidak bisa! Tidak ada huruf romawi sama sekali!!!

Ya, hari demi hari di enam bulan pertama merupakan saat terberat dalam kehidupan saya di tempat yang baru ini. Saya merasa menjadi orang buta huruf! Berkomunikasi pun tidak bisa. Modal bahasa Inggris yang saya miliki tidak berguna sama sekali di daerah tempat saya tinggal. Betapa sulitnya hidup di sini pikir saya. Di Jakarta, pergi sendirian tanpa ditemani siapa-siapa merupakan hal yang sangat biasa buat saya. Tetapi di sini? Alamak...dengan sangat terpaksa saya harus menunggu suami punya waktu untuk mengantarkan saya. Saya hanya bisa pergi sendiri ke swalayan atau departement store terdekat, yang bisa saya capai dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Sedih nian ... Namun ini makin menyadarkan saya bahwa bahasa sangat penting dan bahasa Inggris ternyata bukan segalanya.

Lalu, saya pikir tidak mungkin saya hanya diam menerima nasib begitu saja. Meski ketika itu saya tidak mempunyai waktu luang untuk belajar bahasa Jepang secara formal karena anak saya masih kecil dan belum bersekolah. Saya mencoba belajar sendiri di rumah. Membaca buku pelajaran bahasa Jepang. Namun, saya menemukan cara efektif untuk lebih mudah belajar bahasa Jepang terutama bahasa percakapan adalah dengan menonton acara televisi yang saya sukai. Saya suka sekali menonton drama. Sedikit demi sedikit saya bisa menguasai bahasa percakapan melalui dialog di dalam drama tersebut. Saya juga suka melihat acara news. Kalau saya tidak paham isi beritanya, saya akan mencoba cari tahu lewat berita di surat kabar versi bahasa Inggris lewat internet. Akhirnya saya mulai bisa menikmati kehidupan saya di sini. Itu artinya saya mulai bisa berdaptasi di tempat yang baru ini. Yokatta!!!

Oh ya, tapi jangan khawatir buat teman-teman yang akan berkunjung ke Jepang. Sekarang orang-orang yang baru datang ke Jepang dan kebetulan tidak bisa berbahasa Jepang tidak akan mengalami banyak kesulitan karena di mana-mana, papan informasi dan penunjuk jalan sudah banyak yang menggunakan huruf romawi. Terutama di kota-kota besar. Kalaupun tidak, pasti ada huruf hiragana (huruf dasar) yang membantu kita dalam membaca huruf kanji. Huruf hiragana relatif lebih mudah dihafal ketimbang kanji yang jumlahnya ribuan dan seringkali mempunyai lebih dari satu cara membacanya.

Sunday, September 17, 2006

Nyugakushiki

Setelah menamatkan pendidikannya di yochien, anak-anak Jepang akan melanjutkan ke tingkat Sekolah Dasar atau shougakkou. Tidak seperti di Indonesia, tahun ajaran baru di Jepang dimulai pada bulan April. Biasanya bertepatan dengan musim bunga Sakura. Hampir di setiap sudut shougakkou ada pohon Sakura.

Yang agak unik dari upacara permulaan sekolah ini adalah pakaian yang dikenakan oleh murid baru dan orangtua. Mereka memakai pakaian yang sangat resmi. Anak perempuan memakai rok atau setelan two pieces. Anak laki-laki memakai setelan jas lengkap dengan dasinya. Demikian pula dengan orangtuanya.

Di dalam sekolah, anak-anak akan duduk berdasarkan urutan kelasnya atau kumi. Dalam acara nyugakushiki mereka akan diperkenalkan kepada kepala sekolah (koucho sensei), guru kelas masing-masing, serta guru-guru lain. Karena di setiap sekolah disediakan kyushouku (makan siang di sekolah), maka ada seorang guru khusus yang bertugas menyusun menu dan mengkoordinir kyushouku tersebut. Sekolah juga mempunyai seorang perawat yang bertugas untuk merawat anak yang sakit atau terluka di sekolah.

Setelah upacara resmi permulaan sekolah selesai, anak-anak memasuki ruang kelas bersama guru kelas masing-masing. Di dalam kelas guru membagikan semua perlengkapan sekolah termasuk buku-buku pelajaran. Guru juga memberikan sedikit penjelasan mengenai kegiatan belajar di kelas. Setiap murid akan memiliki buku penghubung antara guru dan orangtua yang disebut renrakuchou, yang harus dibawa setiap hari.

Oh ya, ada satu hal lagi yang unik dari nyugakushiki. Anak-anak baru akan memakai tas ransel khas yang berbentuk kotak dan agak kaku. Namanya randoseru. Anak perempuan biasanya memakai randoseru berwarna merah dan anak laki-laki memakai warna hitam. Namun belakangan ini banyak dijual randoseru berbagai macam warna. Ada biru muda, hijau muda, kuning, merah muda, dan warna-warna cerah lainnya. Tas ini harganya mahal, bervariasi dari 10.000 yen sampai 80.000 yen. Tas ini juga berasuransi, sehingga akan mendapat penggantian jika rusak selama masa asuransi. Jadi tinggal pilih saja sesuai kemampuan. Anak-anak Jepang biasanya mendapat randoseru dari kakek atau nenek sebagai ucapan selamat memasuki sekolah baru.

ichinensei ni nattara...
ichinensei ni nattara...
tomodachi hyakunin dekiru kana
hyakunin de tabetaina
fujisan no uede onigiri o
pakkun pakun pakkunto...

Kakekotoba: Playing with Words

On March 2006, I learned about kakekotoba. This is a kind of word game in Japanese. For example, shika ga shikareru. There is a same word in those sentence, shika. But, there is no connection between shika and shikareru. Shika means a deer. Shikareru means angry in passive form. This sentence will be strange in Indonesian translation. We can't use this kind of sentence in daily conversation. This is used just for fun. Otherwise it can be a way to introduce some word which have a same pronunciation but different meaning.

Then kitte o kitte. Kitte o means a stamp. The second kitte is come from kiru (cut) which connected with te form to be command word. So kitte o kitte means cut a stamp!.
The other one is kore ga ashika no ashi ka. This sentence means is this a lion sea's foot?. The first ashika means sea lion. But ashi ka is combination between ashi (foot) and ka form as a question word.

Japanese is a little bit difficult for me. But I don't know why I'm very interested when my friend explain about this kakekotoba. I said to my friend that if I'm a student at this time, I will take this topic for my paper research. Unfortunately it was a past already.

Sotsuenshiki


18 Maret 2006, Nadhifa diwisuda setelah menyelesaikan pendidikannya di taman kanak-kanak. Nama acara tersebut sotsuenshiki. Di dalam sotsuenshiki, semua wisudawan dan wisudawati cilik menerima sertifikat tanda selesai belajar di TK. Hampir sama dengan acara wisuda sarjana di Indonesia, anak-anak TK juga menyanyi lagu sekolah, lagu persembahan kepada guru, dan lagu perpisahan. Selain itu baik kepala sekolah atau enchou sensei, perwakilan guru (sensei), orang tua murid, dan murid yang diwisuda serta adik kelas, masing-masing memberi kata sambutan di dalam acara tersebut. Meski ini acara wisuda anak-anak TK, tapi mereka mempersiapkan dan menyelenggarakannya seperti layaknya acara wisuda sarjana. Seluruh acara berjalan secara sistematis dan teratur. Menunjukkan keseriusan dan keprofesionalan semua pihak yang terlibat. Pidato-pidato yang dibuat sangat baik dan dibacakan dengan sangat baik pula. Tak heran kami semua begitu tersentuh mengikuti jalannya acara. Semua ibu-ibu menangis terharu, bahkan ada beberapa bapak juga yang menangis haru. Buat saya, ini pengalaman baru yang baik dan mengharukan. Juga menyadarkan saya bahwa anak saya sudah menyelesaikan satu tahap pendidikannya, yang mungkin tidak mudah dilaluinya di antara keterbatasan bahasa dan budaya yang belum terlalu fasih dikuasainya. Selamat ya, Nak!

Saturday, September 16, 2006

Wilujeng Sumping...Sugeng Rawuh...

Selamat datang di negerinya Indah, negeri tempat seorang Indah bercerita tentang apa saja yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami. Semoga Negeri Indah bisa menjadi tempat pencerahan bagi siapa saja. Jika berkenan, silahkan memberi komentar untuk posting atau kiriman saya.

Terima kasih.