Saturday, March 12, 2022

Hiroshima: The Vintage City





Tahun 2019 saat menengok anak yang studi di Osaka, Jepang, saya berkesempatan mengunjungi kota Hiroshima. Nama kota ini melekat kuat sejak belajar sejarah di sekolah dulu. Kota yang terkenal dibom oleh Amerika saat perang dunia kedua. Menurut catatan sejarah, kota ini luluh lantak setelahnya.

Tanggal 6 Agustus 1945, AS menjatuhkan bom atom uranium jenis bedil (Little Boy) di Hiroshima. Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman meminta Jepang menyerah 16 jam kemudian dan memberi peringatan akan adanya "hujan reruntuhan dari udara yang belum pernah terjadi sebelumnya di muka bumi." Tiga hari kemudian, pada tanggal 9 Agustus 1945, AS menjatuhkan bom plutonium jenis implosi (Fat Man) di Nagasaki. Dalam kurun dua sampai empat bulan pertama setelah pengeboman terjadi, dampaknya menewaskan 90.000–146.000 orang di Hiroshima dan 39.000–80.000 di Nagasaki; kurang lebih separuh korban di setiap kota tewas pada hari pertama. Pada bulan-bulan seterusnya, banyak orang yang tewas karena efek luka bakar, penyakit radiasi, dan cedera lain disertai sakit dan kekurangan gizi. Di dua kota tersebut, sebagian besar korban tewas merupakan warga sipil meskipun terdapat garnisun militer besar di Hiroshima (Wikipedia).




Begitu sampai di kota Hiroshima saya langsung jatuh hati. Suasananya tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi. Agak klasik, tapi beda dengan klasiknya Kyoto, yang terkenal sebagai kota tua penuh ikon kebudayaan khas negeri Sakura. Hiroshima terkesan klasik vintage dengan lalu lalang transportasi publiknya berupa trem di dalam kota.




Jika di ibukota Tokyo lalu lalang manusia di jalan-jalan atau di stasiun kereta tampak padat dan tergesa-gesa, maka berbeda jauh dengan di Hiroshima yang tampak lebih tenang. Ketika sedang berjalan dari hotel ke restoran, saya melihat beberapa orang volunteer sedang memungut sampah puntung rokok. Menurut saya kerja bakti mereka tak terlalu berat karena saya sendiri hampir tidak melihat banyak sampah di sana.



Tidak lengkap perjalanan jika belum berkunjung ke tempat bersejarah kota ini, yaitu kubah Genbaku. Bom yang meledak di udara menyelamatkan Aula Pameran Industri Prefektur, yang sekarang dikenal dengan nama kubah Genbaku (A-bomb). Gedung ini dirancang dan dibangun oleh arsitek Ceko, Jan Letzel, dan terletak 150 m (490 ft) dari titik nol. Reruntuhan gedung diberi nama Tugu Perdamaian Hiroshima dan terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1996. Pejabat pemerintah Jepang memperkirakan bahwa 69% bangunan di Hiroshima rata dengan tanah dan 6–7% bangunan mengalami kerusakan. Pengeboman atom memicu kebakaran yang menyebar cepat lewat rumah-rumah berbahan kayu dan kertas (Wikipedia).

Pada 6 Agustus 1949, pemberlakukan UU Konstruksi Peringatan Perdamaian Hiroshima menandai dimulainya proses pembangunan kembali Kota Hiroshima (BBC News, 15 Januari 2018 https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-42679430). Pembangunan kembali Hiroshima dilakukan beberapa tahap di berbagai bidang. Jepang mampu bangkit dari keterpurukan. Bahkan mampu berkembang dengan pesat karena karakter bangsa Jepang yang ulet dan tekun belajar serta masyarakatnya memiliki semangat tinggi. Sekarang Hiroshima menjadi kota industri terbesar di bagian Jepang. (Encyclopaedia Britannica ,2015; Kompas, 22 Februari 2020 https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/22/160000169/hiroshima-dan-nagasaki-jadi-kota-maju-setelah-tragedi-bom-atom)



Melihat kota ini dari dekat membuat saya kagum. Kita mungkin tidak menyangka kota ini pernah hancur jika tidak ada monumen pengingatnya. Hiroshima yang saya lihat sekarang begitu tertata rapi meski kesan vintage tetap kuat. Saking sukanya melihat kota ini sampai pernah meminta anak sulung yang sedang studi merantau di Jepang untuk memilih universitas di Hiroshima.



Hiroshima juga menjadi pusat spiritual gerakan perdamaian untuk pelarangan senjata nuklir. Saat mengunjungi monumen peristiwa pemboman, saya melihat rombongan pelajar yang datang, selain turis dari luar Jepang. Mereka terlihat belajar sejarah dipandu gurunya. Tak lupa mereka menundukkan kepala tanda berdoa. Peperangan selalu meninggalkan kisah sedih. Namun selalu ada hikmah di setiap peristiwa.

Saya masih berharap suatu saat bisa mengunjungi kota ini lagi. Jadi saya tidak akan mengucapkan "sayonara (selamat tinggal)". 

Hiroshima, mata aimashou (sampai berjumpa lagi).


Sunday, April 21, 2013

Kartini Pro Dan Kontra

Sudah lama blog ini tak terjamah dan sejujurnya saya rindu menulis. Hanya saja terkadang ide berseliweran tanpa ada kesempatan untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Berkaitan dengan hari Kartini, saya pernah menulis tentang ini tiga tahun yang lalu, tepatnya 22 April 2010, di sebuah situs pertemanan (http://www.facebook.com/notes/indah-kusumawati/kartini-pro-dan-kontra/411821671004). Kini saya pindah ke blog ini. Selamat memaknai hari Kartini.
Kemarin saya tertarik dengan status seorang teman yang mengatakan bahwa Kartini hanya mengajak wanita berjuang melawan kebodohan dan kemiskinan, jangan diartikan lain dan jangan digunakan untuk melawan yang lain. Dia menutup statusnya dengan ucapan Selamat Memaknai Emansipasi. Sebuah status yang indah karena mengajak kita untuk bijaksana dalam menyikapi sesuatu.
Terus terang dalam benak saya tertanam bahwa tanggal 21 April adalah hari lahir Kartini yang termasuk dalam jajaran pahlawan nasional. Sejak kecil pun yang saya tahu setiap hari itu ada perayaan di sekolah-sekolah dengan segala atribut pakaian daerah yang identik dengan kebaya. Sampai-sampai ada yang berseloroh bahwa hari Kartini sama dengan hari berkebaya. Di khazanah perfesbukan ramai status membicarakan hari Kartini. Banyak yang mengucapkan selamat, tapi ada pula yang mengatakan meski tidak patut mengkultuskan seseorang berlebihan dia tetap menghormati sang tokoh sebagai bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Yang menarik selain status yang saya sebutkan di awal, ada pula beberapa tulisan (note) mengenai Kartini dari sudut pandang yang berbeda.
Ada tulisan yang berisi semacam gugatan kenapa Kartini yang dijadikan simbol perjuangan, kenapa bukan misalnya Dewi Sartika atau Rohana Kudus, seperti yang tertuang dalam tulisan berikut.
"Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan)." (Adian Husaini, sumber: http://swaramuslim.net/more.php?id=6115_0_1_0_M)
Selain itu, ada pula yang menulis tentang Kartini dalam hubungannya dengan agama Islam, seperti kutipan berikut.
"Setiap tanggal 21 April 2010, saya selalu teringat buku "Tragedi Kartini". Di sana tertulis, nama pengarangnya: Asma Karimah. Buku ini sangat menakjubkan. Saya yang kala itu masih duduk di bangku kuliah, baru menyadari ternyata, saya mempunyai penilaian yang salah tentang Sejarah Kartini. Padahal tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negerinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya.
Kian hari, emansipasi kian mirip dengan liberalisasi dan feminisasi. Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya dan ingin kembali kepada fitrahnya. Perjalanan Kartini adalah perjalanan panjang. Dan dia belum sampai pada tujuannya. Kartini masih dalam proses.
Kita sering mendengar kumpulan suratnya yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang oleh Armijn Pane terlanjur diartikan demikian dari bahasa Belanda "Door Duisternis Tot Licht". Padahal, kata-kata itu berasal dari Al-Qur'an: Minazh-Zulumaati Ilan-Nuur yangg oleh cucu Kartini, Prof Dr Haryati Soebadio diartikan 'dari gelap menuju cahaya' dan terjemahan inilah yang lebih pas.
Minazhulumaati Ilan-Nuur ini merupakan inti dari Panggilan Islam, yang maksudnya: membawa manusia dari kegelapan (kejahiliyahan atau kebodohan hidayah) ke tempat yang terang benderang (petunjuk atau kebenaran Al-Haq).
"Allah pemimpin orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir pemimpin mereka adalah Thoghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Q.S. Al-Baqarah:257).
Mengapa disebut Tragedi Kartini? Karena sebenarnya Kartini berada dalam proses dari kegelapan menuju cahaya. Tapi cahaya itu belum purna menyinarinya secara terang benderang karena terhalang oleh atmosfer tradisi dan usaha westernisasi. Kartini kembali kepada Pencipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasanya, sebelum ia meyelesaikan usahanya untuk mempelajari Al-Islam dan mengamalkannya sebagaimana yang dicita-citakan. "Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang Islam patut disukai." (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)." (Nurmah Komarudin: Inilah Cita-Cita Kartini Sebenarnya, dikutip dari http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=384849162658&id=738403554&ref=mf)
Terlepas dari benar tidaknya anggapan bahwa Kartini adalah sebuah rekayasa sejarah (wallahualam), saya pribadi lebih suka menyikapinya seperti bunyi status teman di atas tersebut. Saya mencoba ambil sisi positif amanat yang terkandung dalam cerita Kartini tersebut, yaitu ajakan untuk berusaha ke arah yang lebih baik.

Wednesday, May 19, 2010




Kue Cubit

Bahan:
4 butir telur
150 gr gula pasir
3/4 sdt baking powder
300 gr tepung terigu
50 gr margarin, dilelehkan
1/4 sdt vanilli
100 ml air
meisjes secukupnya utk taburan

Cara mengolah:
1. Kocok telur dan gula sampai kaku, masukkan ayakan tepung dan baking powder. Aduk rata.
2. Tambahkan margarin, vanilli, dan air. Diamkan adonan selama 10 menit.
3. Panaskan cetakan kue cubit dengan mentega lalu tuang adonan, setelah setengah matang taburkan meisjes
4. Tutup cetakan, diamkan hingga matang. Angkat

Saya berbeda. "Dame na no?"

Siang ini saya kembali menyempatkan diri melihat tayangan televisi pendidikan. Acara televisi yang paling saya suka karena menayangkan aneka macam tayangan edukatif, tidak hanya untuk anak-anak, tapi juga buat orang dewasa. Ada acara berisi pelajaran matematika, yang dikemas dengan menggunakan contoh-contoh sederhana di sekitar kita sehingga membuat kita lebih memahami konsep dasar logika matematika. Ada pula pelajaran mengenai lingkungan hidup, seperti penjelasan mengapa penting bagi kita untuk ikut mengelola pembuangan sampah. Mengapa harus bersusah-susah memilah-milah sampah ini termasuk sampah yang bisa dibakar atau bisa didaur ulang.

Kali ini saya melihat acara yang mengisahkan tentang kehidupan seorang anak kelas 5 SD keturunan Brazil di Jepang. Dia biasa dipanggil Kyaro. Ibunya berasal dari Brazil, sedangkan ayahnya terlahir dari ibu asli Brazil dan ayah orang Jepang. Meski berwajah seperti lazimnya orang Brazil, tapi anak ini juga memiliki gurat-gurat layaknya orang Jepang. Di rumah dia berbicara dengan bahasa ibu. Di sekolah dia menggunakan bahasa Jepang, meski dengan aksen ke"brazil"annya.

Hampir tidak ada masalah dengan kehidupannya selama ini sebagai "gaikokujin" (orang asing) di lingkungan sosialnya. Masalah baru mulai muncul saat suatu ketika ada anak baru di tempat kursus "dansu" (tari modern) di mana ia berlatih. Anak baru ini baru datang dari Brazil, sehingga tidak bisa berbicara dalam bahasa Jepang. Dengan memakai anting bulat besar (di Jepang anak-anak tidak boleh memakai anting) dan bergaya bicara cuek sambil mengunyah permen karet, anak baru ini tampak berbeda dengan kebanyakan anak-anak Jepang, pun dengan Kyaro yang lahir dan besar di Jepang. Kyaro pulalah yang selalu menjadi perantara dalam menjembatani kendala bahasa antara teman-teman Jepangnya dan anak baru tersebut. Masalah pertama timbul ketika Kyaro harus menterjemahkan ucapan si anak baru yang bernada ketus kepada teman-teman Jepangnya. Terjadi pergolakan batin dalam diri Kyaro. Apalagi setelah berbicara ketus, si anak baru pergi begitu saja meninggalkan dirinya dalam kebingungan.

Si anak baru merasa tidak nyaman berada di antara teman-teman Jepangnya. Tinggallah Kyaro yang terjepit di antara teman-teman Jepang yang sudah lama ia kenal dan teman baru yang sebangsa dengannya. Sampai suatu saat di kelas "dansu" Kyaro mendengar temannya berkata ketus "Burazirujin dakara (karena dia orang Brazil)" mengenainya ketika dia terlambat datang. Si teman mengganggap Kyaro sama seperti teman baru itu yang tidak datang hari itu. Mendengar perkataan temannya itu, Kyaro marah dan berkata "Watashi wa nihonjin jyanai. Dame na no?" yang artinya "Saya bukan orang Jepang. Tidak bolehkah?"

Tayangan tersebut mengingatkan saya akan putri sulung yang meski tidak lahir di sini, tapi dia banyak menghabiskan masa pertumbuhannya di negara ini. Masyarakat Jepang terbiasa dengan pandangan bahwa semua orang sama. Hal ini bisa dilihat dari sistem pendidikan dasar di negara ini. Penilaian atas hasil belajar di sekolah dasar meniadakan standar angka dan peringkat. Juga dapat dilihat dari hampir tidak terlihat adanya kesenjangan sosial yang mencolok di dalam kehidupan masyarakatnya. Budaya dan bahasanya pun sama meski negara Jepang juga terdiri dari beberapa pulau. Demikian pula halnya dalam kehidupan beragamanya.

Saya teringat ketika di awal kehidupan sosialnya di sekolah, putri sulung saya sering mendapat pertanyaan seputar "mengapa dia memakai anting?". Dari yang sekedar bertanya " mengapa?" sampai komentar "di sini kan anak kecil tidak boleh memakai anting". Tidak hanya soal "anting" yang membuatnya tampak berbeda dari teman-temannya. Di sekolah ada kegiatan makan bersama secara prasmanan yang biasa disebut "kyushoku". Makanannya dikelola oleh petugas khusus. Karena kami muslim, tentu saja tidak bisa mengkonsumsi semua makanan yang disediakan pihak sekolah.

Saya sempat menawarkan opsi kepada putri saya untuk membawa bekal sendiri dari rumah setiap hari. Tapi ternyata dia menolak. Dia tidak ingin lebih tampak berbeda dari teman-temannya dengan "bento" (bekal)nya. Akhirnya saya tetap mengizinkan dia mengkonsumsi makanan yang disediakan sekolah sepanjang halal. Jika menu hari tertentu tidak bisa, maka dia membawa "bento" dari rumah. Bagi saya hal ini dapat meminimalkan rasa "berbeda" dalam diri putri sulung saya karena ada hari di mana dia bisa menikmati makanan yang sama dengan teman lain.

Kisah si anak Brazil dan pengalaman si sulung semakin membuat saya bertambah yakin bahwa perbedaan malah bisa menjadi ajang pembelajaran diri. Alhamdulillah di usia dinimu, kamu sudah mendapat kesempatan untuk menempa diri. Ketahuilah Nak, insyaAllah pengalaman itu akan menjadikanmu pribadi yang kuat. Amin Ya Rabbal Alamin.

Friday, December 25, 2009

Ikan Bumbu Cabe Hijau

Kangen juga...daripada blog ini lama kosong...mungkin gak ada salahnya saya berbagi resep yang foto-fotonya sudah beredar di situs pertemanan saya. Kali ini saya coba menulis resep pemberian mertua (tapi ada sedikit modifikasi dari saya), yang merupakan salah satu favorit suami. Selain ikan kakap, resep ini juga enak untuk ikan kembung loh. Semoga bermanfaat...^_^






Bahan:
- 1 ekor ikan kakap besar yang sudah digoreng
- cabe hijau (sesuai selera) diiris besar-besar dan menyerong
- 3 sdm minyak goreng

Bumbu yang dihaluskan:
- 4 siung bawang merah
- 2 siung bawang putih
- kunyit seruas jari
- separuh tomat besar
- cabe merah (sesuai selera)
- 1 lembar daun jeruk purut
- 1 buah kemiri
- 1/2 sdt gula pasir
- 1 sdt fish sauce
- garam secukupnya


Caranya:
1. Tumis bumbu yang sudah dihaluskan
2. Masukkan cabe hijau, aduk rata sampai cabe agak layu
3. Lalu masukkan ikan, aduk rata

Saturday, March 07, 2009

Nadhifa Kara No Tegami


Tidak ada kata yang tepat untuk melukiskan bagaiimana perasaan saya saat membaca surat dari anak pertama saya. Pokoknya saya merasa bahagiaaaaaaaaa banget. Terima kasih ya, mbak Dhifaku sayang.

Berawal dari tugas guru kelasnya untuk orangtua di rumah agar membuat surat kepada anak. Temanya ditentukan mengenai perasaan orangtua terhadap anaknya. Guru menyediakan kertas surat lengkap dengan amplop yang sudah diterakan nama si anak. Lalu, di sekolah setiap anak diminta membaca surat dari orangtua masing-masing di depan kelas. Beberapa hari kemudian, tiap anak diminta membalas surat dari orangtua mereka tersebut.

Ide yang bagus dan terus terang saya sangat berterima kasih kepada guru kelas anak saya. Banyak hal yang didapat anak dari cara tsb, antara lain mengajarkan anak bagaimana mengekspresikan perasaan melalui tulisan dan melatih anak membuat karangan. Dengan cara ini pula guru mengajak anak untuk mengasah kemampuan dalam mengolah perbendaharaan kanji yang sudah didapat selama ini.


Okaasan e

Okaasan, sutekina tegami o arigatou. Nan kai mo nan kai mo yondara, kandou nakishichattayo. Ie de mo, hanashitaikedo, chisai koro wa, byouki ni natta koto ga aru. Netsu datta yo ne? 40 do gurai datta yo ne? Sono toki ni, watashi ga inakunattate, omotteitanda ne. Shinpaishitekurete arigatou. Watashi o umaresasete, arigatou. Soshite sodattekurete, arigatou. Nagaiki mo dekite….ureshiina. Kore kara mo onegaishimasu.

Nadhifa yori



Kepada Ibu

Terima kasih atas surat Ibu yang bagus. Berkali-kali dibaca membuat aku menangis. Di rumah pun pernah berbicara tentang masa kecilku. Ketika aku pernah sakit dulu. Sakit demam kan ya? Kira-kira 40 derajat kan ya? Waktu itu aku hampir tidak ada ya? Terima kasih karena Ibu sudah mengkhawatirkanku. Terima kasih juga telah melahirkanku. Lalu, terima kasih sudah membesarkanku. Panjang umur…senangnya. Mulai sekarang juga tolong dibantu.

Dari Nadhifa

Thursday, February 14, 2008

Kakek dan Nenek Idaman


















Tulisan ini terinspirasi oleh sosok sepasang kakek-nenek yang membuat saya terkagum-kagum. Kekaguman saya dimulai ketika mereka sering hadir di sebuah tanah kosong di seberang rumah saya. Tepatnya tiga tahun yang lalu, mereka sering datang ke tempat itu. Mula-mula saya sering bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan mereka buat karena mereka terlihat sibuk dengan balok-balok kayu dan alat pertukangan. Dari kejauhan terdengar bunyi desingan alat pemotong kayu listrik atau alat pemaku listrik, hampir setiap hari dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore.

















Jika melihat penampilan dan cara berjalan, mungkin usia mereka di atas 70 tahun. Namun perkiraan saya bisa saja salah mengingat banyak sekali orang lansia di Jepang yang terlihat masih segar dan energik meski ternyata usia mereka sudah 80 tahun. Inilah yang saya kagumi dari sepasang kakek-nenek tersebut di atas. Di usia yang sudah tidak muda lagi mereka masih kuat mengangkat-angkat, memotong, memaku, dan menyusun balok-balok kayu, yang kemudian saya ketahui ternyata mereka membuat pagar di sekeliling tanah kosong tersebut.


















Setelah pagar jadi saya melihat ada papan pengumuman yang terpasang di salah satu sisi pagar. Isinya pemberitahuan bahwa awal tahun 2006 akan dibuka sebuah kafe yang diberi nama Alisu No Mori (Hutan Alice). Menurut teman saya yang sudah lama tinggal di daerah ini, Alisu adalah toko kue yang terkenal sangat enak, yang di kemudian hari saya buktikan sendiri kebenarannya. Kemudian saya berpikir akankah mereka sendiri yang akan membuat kafe itu? Percaya tidak? Kecuali bangunan utama berbentuk rumah yang dibuat di tempat lain (Untuk pertama kalinya saya melihat ada rumah yang ditarik oleh truk besar dan diletakkan di sebuah tanah kosong dengan bantuan alat derek. Agak susah juga mendeskripsikannya, tapi mudah-mudahan bisa dibayangkan penjelasan tersebut.), bangunan lain mereka sendiri yang membuatnya, seperti beranda yang dibuat seperti panggung, meja-kursi yang ada di beranda, atap beranda, dan tempat berteduh di halaman samping (lihat gambar kedua). Demikian pula tanaman penghias kafe dan rumput di halaman samping, merekalah yang menanamnya.

















Setelah dua tahun berdiri, sang kakek dan nenek sepertinya tidak pernah lelah membuat sesuatu yang baru untuk kafe mereka. Kini saya mulai mendengar lagi suara ketukan dan desingan alat-alat pertukangan dari seberang sana. Seperti dulu, mereka berdua bahu membahu membuat entah apa lagi di depan kafe itu. Dan saya semakin mengagumi mereka.

Wednesday, January 16, 2008

Music and Lyrics: Sebuah Ulasan Singkat






















Sudah lama tidak menonton film barat, baru kemarin saya punya kesempatan untuk melihat sebuah film comedy romance produksi tahun 2007. Film Music dan Lyrics dibintangi oleh aktor yang punya kharisma sebagai playboy, Hugh Grant dan bintang yang sudah main film sejak masih kanak-kanak, Drew Barrymore.

Tidak ada yang istimewa betul dari film ini. Akting kedua pemain juga biasa saja. Hugh Grant berperan sebagai Alex Fletcher, seorang mantan penyanyi dari sebuah grup musik yang populer di tahun 80-an. Sebuah lagunya yang berjudul Pop! Goes My Heart pernah bertengger sangat lama di puncak tangga lagu. Akan tetapi, setelah itu grup mereka bubar. Pasangan duetnya di grup tersebut membuat band baru dan mulai terjun ke dunia film. Sedangkan Alex Fletcher berusaha tetap eksis dengan bantuan manajer setianya, Chris. Namun meraih kembali kepopuleran ternyata tidak mudah. Kehadirannya bahkan nyaris dilupakan oleh publik pecinta musik, kecuali oleh segelintir orang. Tidak jarang dia harus show di tempat-tempat yang sebelumnya tak terjamah oleh band sepopuler Pop, seperti di acara reuni sekolah atau di arena amusement park.

Di tengah usahanya itulah ia mendapat tawaran berharga dari seorang penyanyi muda yang tengah naik daun untuk membuat sebuah lagu. Sebuah tawaran menarik sekaligus sulit karena Alex diminta membuat lagu baru sesuai dengan tema dan judul yang sudah ditetapkan oleh Cora Corman, penyanyi yang mengenal grup Pop dari orangtuanya, dalam waktu tidak sampai seminggu . Di sinilah secara kebetulan ia bertemu dengan seorang gadis, yang pada awalnya bertandang untuk menggantikan posisi temannya sebagai perawat tanaman di rumah Alex. Sophie Fisher, gadis itu tanpa sengaja bersenandung ketika Alex sedang berusaha membuat lagu. Senandung spontan Sophie menggugah naluri bermusiknya. Kemudian Alex berusaha membujuk Sophie agar mau membuat lirik untuk lagu yang sedang digubahnya. Awalnya Sophie menolak karena merasa tidak mampu, tapi Alex bersikeras bahwa Sophie punya talenta dalam membuat lirik lagu. Kehadiran Sophie ternyata tidak hanya membantunya dalam mencipta lagu, tapi juga membawa spirit baru untuk kelangsungan hidup bermusiknya.

Bagi pecinta film romantik, film ini cukup menghibur dari awal hingga akhir. Yang menarik dari film ini, menurut saya, adalah lagu Way Back Into Love, yang di dalam cerita digambarkan sebagai lagu yang diciptakan oleh Alex Fletcher dan Sophie Fisher. Lagu yang menjadi pengikat cinta bagi keduanya. Lagu itu juga sekaligus menjadi momen awal bangkitnya kembali kepopuleran seorang Alex Fletcher dan debut baru Sophie Fisher sebagai penulis lirik lagu.