Sunday, April 21, 2013

Kartini Pro Dan Kontra

Sudah lama blog ini tak terjamah dan sejujurnya saya rindu menulis. Hanya saja terkadang ide berseliweran tanpa ada kesempatan untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Berkaitan dengan hari Kartini, saya pernah menulis tentang ini tiga tahun yang lalu, tepatnya 22 April 2010, di sebuah situs pertemanan (http://www.facebook.com/notes/indah-kusumawati/kartini-pro-dan-kontra/411821671004). Kini saya pindah ke blog ini. Selamat memaknai hari Kartini.
Kemarin saya tertarik dengan status seorang teman yang mengatakan bahwa Kartini hanya mengajak wanita berjuang melawan kebodohan dan kemiskinan, jangan diartikan lain dan jangan digunakan untuk melawan yang lain. Dia menutup statusnya dengan ucapan Selamat Memaknai Emansipasi. Sebuah status yang indah karena mengajak kita untuk bijaksana dalam menyikapi sesuatu.
Terus terang dalam benak saya tertanam bahwa tanggal 21 April adalah hari lahir Kartini yang termasuk dalam jajaran pahlawan nasional. Sejak kecil pun yang saya tahu setiap hari itu ada perayaan di sekolah-sekolah dengan segala atribut pakaian daerah yang identik dengan kebaya. Sampai-sampai ada yang berseloroh bahwa hari Kartini sama dengan hari berkebaya. Di khazanah perfesbukan ramai status membicarakan hari Kartini. Banyak yang mengucapkan selamat, tapi ada pula yang mengatakan meski tidak patut mengkultuskan seseorang berlebihan dia tetap menghormati sang tokoh sebagai bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Yang menarik selain status yang saya sebutkan di awal, ada pula beberapa tulisan (note) mengenai Kartini dari sudut pandang yang berbeda.
Ada tulisan yang berisi semacam gugatan kenapa Kartini yang dijadikan simbol perjuangan, kenapa bukan misalnya Dewi Sartika atau Rohana Kudus, seperti yang tertuang dalam tulisan berikut.
"Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan)." (Adian Husaini, sumber: http://swaramuslim.net/more.php?id=6115_0_1_0_M)
Selain itu, ada pula yang menulis tentang Kartini dalam hubungannya dengan agama Islam, seperti kutipan berikut.
"Setiap tanggal 21 April 2010, saya selalu teringat buku "Tragedi Kartini". Di sana tertulis, nama pengarangnya: Asma Karimah. Buku ini sangat menakjubkan. Saya yang kala itu masih duduk di bangku kuliah, baru menyadari ternyata, saya mempunyai penilaian yang salah tentang Sejarah Kartini. Padahal tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negerinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya.
Kian hari, emansipasi kian mirip dengan liberalisasi dan feminisasi. Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya dan ingin kembali kepada fitrahnya. Perjalanan Kartini adalah perjalanan panjang. Dan dia belum sampai pada tujuannya. Kartini masih dalam proses.
Kita sering mendengar kumpulan suratnya yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang oleh Armijn Pane terlanjur diartikan demikian dari bahasa Belanda "Door Duisternis Tot Licht". Padahal, kata-kata itu berasal dari Al-Qur'an: Minazh-Zulumaati Ilan-Nuur yangg oleh cucu Kartini, Prof Dr Haryati Soebadio diartikan 'dari gelap menuju cahaya' dan terjemahan inilah yang lebih pas.
Minazhulumaati Ilan-Nuur ini merupakan inti dari Panggilan Islam, yang maksudnya: membawa manusia dari kegelapan (kejahiliyahan atau kebodohan hidayah) ke tempat yang terang benderang (petunjuk atau kebenaran Al-Haq).
"Allah pemimpin orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir pemimpin mereka adalah Thoghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Q.S. Al-Baqarah:257).
Mengapa disebut Tragedi Kartini? Karena sebenarnya Kartini berada dalam proses dari kegelapan menuju cahaya. Tapi cahaya itu belum purna menyinarinya secara terang benderang karena terhalang oleh atmosfer tradisi dan usaha westernisasi. Kartini kembali kepada Pencipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasanya, sebelum ia meyelesaikan usahanya untuk mempelajari Al-Islam dan mengamalkannya sebagaimana yang dicita-citakan. "Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang Islam patut disukai." (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)." (Nurmah Komarudin: Inilah Cita-Cita Kartini Sebenarnya, dikutip dari http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=384849162658&id=738403554&ref=mf)
Terlepas dari benar tidaknya anggapan bahwa Kartini adalah sebuah rekayasa sejarah (wallahualam), saya pribadi lebih suka menyikapinya seperti bunyi status teman di atas tersebut. Saya mencoba ambil sisi positif amanat yang terkandung dalam cerita Kartini tersebut, yaitu ajakan untuk berusaha ke arah yang lebih baik.

No comments: