Wednesday, May 19, 2010

Saya berbeda. "Dame na no?"

Siang ini saya kembali menyempatkan diri melihat tayangan televisi pendidikan. Acara televisi yang paling saya suka karena menayangkan aneka macam tayangan edukatif, tidak hanya untuk anak-anak, tapi juga buat orang dewasa. Ada acara berisi pelajaran matematika, yang dikemas dengan menggunakan contoh-contoh sederhana di sekitar kita sehingga membuat kita lebih memahami konsep dasar logika matematika. Ada pula pelajaran mengenai lingkungan hidup, seperti penjelasan mengapa penting bagi kita untuk ikut mengelola pembuangan sampah. Mengapa harus bersusah-susah memilah-milah sampah ini termasuk sampah yang bisa dibakar atau bisa didaur ulang.

Kali ini saya melihat acara yang mengisahkan tentang kehidupan seorang anak kelas 5 SD keturunan Brazil di Jepang. Dia biasa dipanggil Kyaro. Ibunya berasal dari Brazil, sedangkan ayahnya terlahir dari ibu asli Brazil dan ayah orang Jepang. Meski berwajah seperti lazimnya orang Brazil, tapi anak ini juga memiliki gurat-gurat layaknya orang Jepang. Di rumah dia berbicara dengan bahasa ibu. Di sekolah dia menggunakan bahasa Jepang, meski dengan aksen ke"brazil"annya.

Hampir tidak ada masalah dengan kehidupannya selama ini sebagai "gaikokujin" (orang asing) di lingkungan sosialnya. Masalah baru mulai muncul saat suatu ketika ada anak baru di tempat kursus "dansu" (tari modern) di mana ia berlatih. Anak baru ini baru datang dari Brazil, sehingga tidak bisa berbicara dalam bahasa Jepang. Dengan memakai anting bulat besar (di Jepang anak-anak tidak boleh memakai anting) dan bergaya bicara cuek sambil mengunyah permen karet, anak baru ini tampak berbeda dengan kebanyakan anak-anak Jepang, pun dengan Kyaro yang lahir dan besar di Jepang. Kyaro pulalah yang selalu menjadi perantara dalam menjembatani kendala bahasa antara teman-teman Jepangnya dan anak baru tersebut. Masalah pertama timbul ketika Kyaro harus menterjemahkan ucapan si anak baru yang bernada ketus kepada teman-teman Jepangnya. Terjadi pergolakan batin dalam diri Kyaro. Apalagi setelah berbicara ketus, si anak baru pergi begitu saja meninggalkan dirinya dalam kebingungan.

Si anak baru merasa tidak nyaman berada di antara teman-teman Jepangnya. Tinggallah Kyaro yang terjepit di antara teman-teman Jepang yang sudah lama ia kenal dan teman baru yang sebangsa dengannya. Sampai suatu saat di kelas "dansu" Kyaro mendengar temannya berkata ketus "Burazirujin dakara (karena dia orang Brazil)" mengenainya ketika dia terlambat datang. Si teman mengganggap Kyaro sama seperti teman baru itu yang tidak datang hari itu. Mendengar perkataan temannya itu, Kyaro marah dan berkata "Watashi wa nihonjin jyanai. Dame na no?" yang artinya "Saya bukan orang Jepang. Tidak bolehkah?"

Tayangan tersebut mengingatkan saya akan putri sulung yang meski tidak lahir di sini, tapi dia banyak menghabiskan masa pertumbuhannya di negara ini. Masyarakat Jepang terbiasa dengan pandangan bahwa semua orang sama. Hal ini bisa dilihat dari sistem pendidikan dasar di negara ini. Penilaian atas hasil belajar di sekolah dasar meniadakan standar angka dan peringkat. Juga dapat dilihat dari hampir tidak terlihat adanya kesenjangan sosial yang mencolok di dalam kehidupan masyarakatnya. Budaya dan bahasanya pun sama meski negara Jepang juga terdiri dari beberapa pulau. Demikian pula halnya dalam kehidupan beragamanya.

Saya teringat ketika di awal kehidupan sosialnya di sekolah, putri sulung saya sering mendapat pertanyaan seputar "mengapa dia memakai anting?". Dari yang sekedar bertanya " mengapa?" sampai komentar "di sini kan anak kecil tidak boleh memakai anting". Tidak hanya soal "anting" yang membuatnya tampak berbeda dari teman-temannya. Di sekolah ada kegiatan makan bersama secara prasmanan yang biasa disebut "kyushoku". Makanannya dikelola oleh petugas khusus. Karena kami muslim, tentu saja tidak bisa mengkonsumsi semua makanan yang disediakan pihak sekolah.

Saya sempat menawarkan opsi kepada putri saya untuk membawa bekal sendiri dari rumah setiap hari. Tapi ternyata dia menolak. Dia tidak ingin lebih tampak berbeda dari teman-temannya dengan "bento" (bekal)nya. Akhirnya saya tetap mengizinkan dia mengkonsumsi makanan yang disediakan sekolah sepanjang halal. Jika menu hari tertentu tidak bisa, maka dia membawa "bento" dari rumah. Bagi saya hal ini dapat meminimalkan rasa "berbeda" dalam diri putri sulung saya karena ada hari di mana dia bisa menikmati makanan yang sama dengan teman lain.

Kisah si anak Brazil dan pengalaman si sulung semakin membuat saya bertambah yakin bahwa perbedaan malah bisa menjadi ajang pembelajaran diri. Alhamdulillah di usia dinimu, kamu sudah mendapat kesempatan untuk menempa diri. Ketahuilah Nak, insyaAllah pengalaman itu akan menjadikanmu pribadi yang kuat. Amin Ya Rabbal Alamin.

No comments: