Apa sih culture shock itu? Dulu sebelum menginjakkan kaki di belahan negara lain, saya tidak pernah bisa memahami benar makna istilah tersebut. Saya lahir dan dibesarkan di Jakarta. Tidak pernah tinggal lama di daerah lain selain Jakarta. Rasanya cukup sulit memahami dengan benar gejala gegar budaya itu. Saya hanya bisa mereka-reka, oh...seseorang akan mengalami kesulitan adaptasi di tempat yang baru dengan situasi dan kondisi di mana kehidupan masyarakatnya berbeda. Hanya sampai di situ saja pemahaman saya.
Empat tahun yang lalu, ketika untuk pertama kalinya datang ke Jepang, suatu negara yang sama sekali asing, yang hanya saya ketahui lewat pelajaran sejarah di sekolah, cerita di buku, dan tayangan televisi, kesan pertama yang langsung terlintas dalam benak saya ketika sampai di Jepang adalah negeri ini bersih dan teratur. Selebihnya adalah kebingungan memahami berbagai karakter tulisan di sepanjang perjalanan menuju rumah. Mungkin itu adalah culture shock saya yang pertama. Ya ampun...bagaimana saya bisa tahu itu tempat apa kalau membaca tulisannya saja tidak bisa! Tidak ada huruf romawi sama sekali!!!
Ya, hari demi hari di enam bulan pertama merupakan saat terberat dalam kehidupan saya di tempat yang baru ini. Saya merasa menjadi orang buta huruf! Berkomunikasi pun tidak bisa. Modal bahasa Inggris yang saya miliki tidak berguna sama sekali di daerah tempat saya tinggal. Betapa sulitnya hidup di sini pikir saya. Di Jakarta, pergi sendirian tanpa ditemani siapa-siapa merupakan hal yang sangat biasa buat saya. Tetapi di sini? Alamak...dengan sangat terpaksa saya harus menunggu suami punya waktu untuk mengantarkan saya. Saya hanya bisa pergi sendiri ke swalayan atau departement store terdekat, yang bisa saya capai dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Sedih nian ... Namun ini makin menyadarkan saya bahwa bahasa sangat penting dan bahasa Inggris ternyata bukan segalanya.
Lalu, saya pikir tidak mungkin saya hanya diam menerima nasib begitu saja. Meski ketika itu saya tidak mempunyai waktu luang untuk belajar bahasa Jepang secara formal karena anak saya masih kecil dan belum bersekolah. Saya mencoba belajar sendiri di rumah. Membaca buku pelajaran bahasa Jepang. Namun, saya menemukan cara efektif untuk lebih mudah belajar bahasa Jepang terutama bahasa percakapan adalah dengan menonton acara televisi yang saya sukai. Saya suka sekali menonton drama. Sedikit demi sedikit saya bisa menguasai bahasa percakapan melalui dialog di dalam drama tersebut. Saya juga suka melihat acara news. Kalau saya tidak paham isi beritanya, saya akan mencoba cari tahu lewat berita di surat kabar versi bahasa Inggris lewat internet. Akhirnya saya mulai bisa menikmati kehidupan saya di sini. Itu artinya saya mulai bisa berdaptasi di tempat yang baru ini. Yokatta!!!
Oh ya, tapi jangan khawatir buat teman-teman yang akan berkunjung ke Jepang. Sekarang orang-orang yang baru datang ke Jepang dan kebetulan tidak bisa berbahasa Jepang tidak akan mengalami banyak kesulitan karena di mana-mana, papan informasi dan penunjuk jalan sudah banyak yang menggunakan huruf romawi. Terutama di kota-kota besar. Kalaupun tidak, pasti ada huruf hiragana (huruf dasar) yang membantu kita dalam membaca huruf kanji. Huruf hiragana relatif lebih mudah dihafal ketimbang kanji yang jumlahnya ribuan dan seringkali mempunyai lebih dari satu cara membacanya.
No comments:
Post a Comment