Tahun 2019 saat menengok anak yang studi di Osaka, Jepang, saya berkesempatan mengunjungi kota Hiroshima. Nama kota ini melekat kuat sejak belajar sejarah di sekolah dulu. Kota yang terkenal dibom oleh Amerika saat perang dunia kedua. Menurut catatan sejarah, kota ini luluh lantak setelahnya.
Tanggal 6 Agustus 1945, AS menjatuhkan bom atom uranium jenis bedil (Little Boy) di Hiroshima. Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman meminta Jepang menyerah 16 jam kemudian dan memberi peringatan akan adanya "hujan reruntuhan dari udara yang belum pernah terjadi sebelumnya di muka bumi." Tiga hari kemudian, pada tanggal 9 Agustus 1945, AS menjatuhkan bom plutonium jenis implosi (Fat Man) di Nagasaki. Dalam kurun dua sampai empat bulan pertama setelah pengeboman terjadi, dampaknya menewaskan 90.000–146.000 orang di Hiroshima dan 39.000–80.000 di Nagasaki; kurang lebih separuh korban di setiap kota tewas pada hari pertama. Pada bulan-bulan seterusnya, banyak orang yang tewas karena efek luka bakar, penyakit radiasi, dan cedera lain disertai sakit dan kekurangan gizi. Di dua kota tersebut, sebagian besar korban tewas merupakan warga sipil meskipun terdapat garnisun militer besar di Hiroshima (Wikipedia).
Begitu sampai di kota Hiroshima saya langsung jatuh hati. Suasananya tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi. Agak klasik, tapi beda dengan klasiknya Kyoto, yang terkenal sebagai kota tua penuh ikon kebudayaan khas negeri Sakura. Hiroshima terkesan klasik vintage dengan lalu lalang transportasi publiknya berupa trem di dalam kota.
Jika di ibukota Tokyo lalu lalang manusia di jalan-jalan atau di stasiun kereta tampak padat dan tergesa-gesa, maka berbeda jauh dengan di Hiroshima yang tampak lebih tenang. Ketika sedang berjalan dari hotel ke restoran, saya melihat beberapa orang volunteer sedang memungut sampah puntung rokok. Menurut saya kerja bakti mereka tak terlalu berat karena saya sendiri hampir tidak melihat banyak sampah di sana.
Tidak lengkap perjalanan jika belum berkunjung ke tempat bersejarah kota ini, yaitu kubah Genbaku. Bom yang meledak di udara menyelamatkan Aula Pameran Industri Prefektur, yang sekarang dikenal dengan nama kubah Genbaku (A-bomb). Gedung ini dirancang dan dibangun oleh arsitek Ceko, Jan Letzel, dan terletak 150 m (490 ft) dari titik nol. Reruntuhan gedung diberi nama Tugu Perdamaian Hiroshima dan terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1996. Pejabat pemerintah Jepang memperkirakan bahwa 69% bangunan di Hiroshima rata dengan tanah dan 6–7% bangunan mengalami kerusakan. Pengeboman atom memicu kebakaran yang menyebar cepat lewat rumah-rumah berbahan kayu dan kertas (Wikipedia).
Pada 6 Agustus 1949, pemberlakukan UU Konstruksi Peringatan Perdamaian Hiroshima menandai dimulainya proses pembangunan kembali Kota Hiroshima (BBC News, 15 Januari 2018 https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-42679430). Pembangunan kembali Hiroshima dilakukan beberapa tahap di berbagai bidang. Jepang mampu bangkit dari keterpurukan. Bahkan mampu berkembang dengan pesat karena karakter bangsa Jepang yang ulet dan tekun belajar serta masyarakatnya memiliki semangat tinggi. Sekarang Hiroshima menjadi kota industri terbesar di bagian Jepang. (Encyclopaedia Britannica ,2015; Kompas, 22 Februari 2020 https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/22/160000169/hiroshima-dan-nagasaki-jadi-kota-maju-setelah-tragedi-bom-atom)
Hiroshima juga menjadi pusat spiritual gerakan perdamaian untuk pelarangan senjata nuklir. Saat mengunjungi monumen peristiwa pemboman, saya melihat rombongan pelajar yang datang, selain turis dari luar Jepang. Mereka terlihat belajar sejarah dipandu gurunya. Tak lupa mereka menundukkan kepala tanda berdoa. Peperangan selalu meninggalkan kisah sedih. Namun selalu ada hikmah di setiap peristiwa.
Saya masih berharap suatu saat bisa mengunjungi kota ini lagi. Jadi saya tidak akan mengucapkan "sayonara (selamat tinggal)".
Hiroshima, mata aimashou (sampai berjumpa lagi).